Amar ma’ruf nahi
munkar merupakan kekhususan dan keistimewaan Ummat Islam yang akan
mempengaruhi kemulian Umat Islam. Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan Amar
ma’ruf nahi munkar ini. Allah
berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ
وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah:71)
Pentingnya
Amar Makruf dan Nahi Mungkar
Pada sebagian hadis Imam maksum a.s. dikatakan bahwa
A.
Amar makruf dan nahi mungkar
termasuk kewajiban yang paling penting dan mulia.
B.
Kewajiban-kewajiban
agama tetap kokoh karena adanya amar makruf dan nahi mungkar.
C.
Amar makruf dan nahi
mungkar termasuk daruratnya agama dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia
adalah kafir.
D.
Jika masyarakat
meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar maka akan hilang keberkahan hidup dan
doa-doa tidak dikabulkan.
Hukum Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
Amar ma’ruf nahi
munkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah kepada Umat Islam sesuai
kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ para
Ulama.
1.
Dalil
Al Qur’an
Firman Allah ,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Al-Imran:
104).
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,”Maksud dari ayat ini,
hendaklah ada sebagian Ummat ini yang menegakkan perkara ini“. (Lihat
tafsir Al Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405).
Dan firman-Nya,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللهِ
Kamu adalah Ummat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. (Al-Imran :110).
Umar bin Khathab
berkata ketika memahami ayat ini,”Wahai sekalian manusia, barang siapa
yang ingin termasuk Ummat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya“.
(Lihat Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/453).
2.
Dalil
Sunnah
Sabda Rasulullah ,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Barang
siapa yang melihat satu kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak
mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu
adalah selemah-lemahnya iman (Riwayat
Muslim).
3.
Ijma’ Oleh Para Ulama
1) Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata, “Seluruh
Ummat telah bersepakat mengenai kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, tidak ada
perselisihan diantara mereka sedikitpun”. (Ibnu Hazm, Al-Fashl Fil Milal Wan Nihal, 5/19).
2) Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata,”Allah telah
menegaskan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar melalui beberapa ayat dalam Al
Qur’an, lalu dijelaskan Rasulullah dalam hadits yang mutawatir. Dan para salaf
serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas kewajibannya“. (Al-Jashash, Ahkamul Qur’an , 2/486)
3) An-Nawawi berkata,”telah banyak dalil-dalil Al
Qur’an dan Sunnah serta Ijma’ yang menunjukkan kewajiban amar ma’ruf nahi
munkar“. (An-Nawawi,
Syarah Shahih Muslim, 2/22).
4) Asy-Syaukaniy berkata,”Amar ma’ruf nahi munkar
termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari’at terbesar dalam syari’at.
Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya“. (Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/450).
ADAB BERAMAL MAKRUF DAN NAHI MUNGKAR
Orang yang melakukan amar makruf dan nahi mungkar sebaiknya.
1.
Seperti seorang
dokter yang baik dan seorang ayah yang penyayang.
2.
Niatnya ikhlas dan
hanya karena Allah melakukan amar makruf dan nahi mungkar dan bukan untuk
kesombongan.
3.
Tidak menganggap
dirinya paling suci apalagi kadang-kadang masih berbuat kesalahan dan hendaknya
memiliki sifat yang baik yang menjadikan Allah menyayanginya walaupun ada
tingkahnya yang masih membikin Allah marah.
Etika Dalam Melakukan
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Dalam melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar ada etika yang harus diikuti sesuai firman Allah dan
sunnah rasul-Nya yaitu:
1)
Hendaknya
orang yang melakukannya mengetahui hakikat kebaikan yang ia perintahkan.
Yakni, bahwa itu merupakan kebaikan berdasarkan syariat dan kebaikan itu sudah ditinggalkan. Begitu juga, ia harus mengetahui hakikat kemungkaran yang akan dicegahnya berdasarkan syariat dan ia ingin mengubahnya, dan kemungkaran tersebut benar-benar telah dilakukan. Padahal kemungkaran itu termasuk sesuatu yang diingkari oleh syariat yang berupa kemaksiatan dan perbuatan haram.
Yakni, bahwa itu merupakan kebaikan berdasarkan syariat dan kebaikan itu sudah ditinggalkan. Begitu juga, ia harus mengetahui hakikat kemungkaran yang akan dicegahnya berdasarkan syariat dan ia ingin mengubahnya, dan kemungkaran tersebut benar-benar telah dilakukan. Padahal kemungkaran itu termasuk sesuatu yang diingkari oleh syariat yang berupa kemaksiatan dan perbuatan haram.
2)
Dapat
menahan diri (wara’), tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah,
dan tidak meninggalkan kebaikan-kebaikan yang ia perintahkan.
Allah
berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3)
3)
Memiliki
perangai yang baik
Murah hati, menyuruh dengan lembut,
melarang secara lunak, tidak dendam ketika mendapat balasan buruk dari
orang yang dilarangnya, dan tidak marah jika orang yang diperintahnya
menimpakan gangguan kepadanya. Namun, ia bersabar dan memaafkan.
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17)
4)
Tidak
mengetahui kemungkaran dengan cara memata-matai orang lain.
Tidaklah pantas untuk mengetahui keburukan
orang lain di rumahnya atau menyingkap pakaian sseorang untuk mengetahui
sesuatu yang ada di dalamnya atau membuka bejana guna mengetahui apa
isinya. Allah telah memerintahkan untuk menutupi keburukan orang lain dan
melarang untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Allah berfirman: “…Dan
janganlah mencari-cari keburukan orang…” (Al-Hujurat: 12)
5) Sebelum
menyuruh orang yang akan disuruh, alangkah baiknya bila ia
memperkenalkan kebaikan kepadanya.
Bisa jadi penyebab orang meninggalkan
suatu kebaikan adalah ketidak-tahuannya bahwa hal tersebut adalah
kebaikan. Begitu juga dalam memperkenalkan kepada orang yang akan dicegah
dari kemungkaran. Bisa jadi orang tersebut melakukan kemungkaran akibat
ketidak-tahuannya bahwa hal tersebut adalah kemungkaran.
6)
Menyuruh
dan mencegah dengan cara yang baik.
Apabila seseorang tidak mau melakukan
kebaikan dan meninggalkan kemungkaran, ia harus menasihatinya dengan cara
yang dapat melunakkan hatinya yaitu dengan menunjukkan dalil-dalil tentang
ajakan dan acaman yang ada dalam syariat.
Jika dengan hal itu tidak juga
berhasil, bisa menggunakan peringatan serta ucapan yang tegas dan keras.
Namun jika dengan itu semua tidak juga berhasil, ia bisa melaporkan kepada pemerintah
atau meminta tolong kepada teman-temannya.
7)
Apabila
ia tidak berdaya untuk mengubah kemungkaran dengan tangan dan
lisannya disebabkan rasa takut bahwa dirinya, hartanya, dan sesuatu yang
tampak pada dirinya akan terancam, dan ia tidak mampu bersabar atas
sesuatu yang menimpa dirinya, cukuplah ia mengubah kemungkaran dengan hatinya.
Rasulullah pernah
bersabda:
“Barang
siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Apabila ia
tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu, maka dengan
hatinya. Demikian itu adalah keimanan yang paling lemah.”(HR. Muslim)
PELAKSANAAN TINGKATAN AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR
Untuk melaksanakan kewajiban amar ma'ruf nabi munkar terdapat beberapa tingkatan:
A.
Pengenalan. Setiap
mubaligh harus mengenalkan dan memberitahukan mengenai hukum Islam yang
dilanggar oleh seseorang yang melakukan kesalahan dan menjelaskan hukuman Allah
terhadap orang yang melakukan kemungkaran, serta kewajibannya yang harus
dilakukan dengan cara lemah lembut.
B. Menasehati. Jika
ada yang melakukan kemungkinan tetapi sebenarnya dia mengetahui bahwa itu
perbuatan tercela atau mungkar, orang seperti harus diberi nasehat, dan
ditakut-takuti dengan atau oleh siksaan Alah SWT. Akan tetapi pemberi nasehat
harus waspada, jangan tersirat bahwa orang yang menjadi sasarannya, itu akan merasa
dihina atau direndahkan.
C. Mencela dengan
kata-kata kasar. Langkah ini mungkin dilakukan ketika dia tidak dapat
mencegah kemungkaran dengan cara lemah lembut dan tantangan sedang menghadangnya.
Misalnya orang berani berbuat jahat dihadapannya atau langsung memperolok-oloknya.
Misalnya orang berani berbuat jahat dihadapannya atau langsung memperolok-oloknya.
D.
Mengubah dengan
tangan (kekuasaan). Hal ini dapat dipergunakan untuk hal-hal, misalnya
memecahkan alat kemungkaran (merobek kartu judi), menumpahkan minuman keras, memecahkan
patung-patung, mengeluarkan orang yang duduk di malam masjid sedangkan dia
mempunyai hadas. Akan tetapi tahapan ini tidak dapat langsung dilakukan, karena
jika langsung dilakukan yang ada justru akan menimbulkan akibat yang lebih
buruk lagi.
Rasulullah SAW bersabda:
"Dari Abu Said
al Khudri r.a. dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, siapa diantara
kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangan
(kekuasaannya), jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika tidak mampu juga,
ubahlah dengan hatinya (diam saja), tetapi mengubah dengan hati (diam) itu
merupakan iman yang paling lemah".
(HR. Imam Muslim dan Tirmidzi serta yang lain)
(HR. Imam Muslim dan Tirmidzi serta yang lain)
SYARAT-SYARAT AMAR MA’RUF NAHI
MUNKAR
Syarat
pertama : Orang yang beramal ma’ruf nahi munkar itu harus mengetahui
hukum syar’i terkait hal yang ia perintahkan atau ia larang tersebut.
Tidaklah ia memerintahkan kecuali karena ia mengetahui bahwa syariat
memerintahkan hal itu. Dan tidaklah ia melarang kecuali dari hal-hal yang ia
ketahui bahwa syariat melarangnya. Janganlah ia menyandarkan hal itu pada
perasaan atau adat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala kepada Rasulullah
shollallahu alaihi wasallam :
{
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ } [المائدة: 48].
Maka
tetapkanlah hukum di antara mereka sesuai dengan yang Allah turunkan. Dan
jangan engkau mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga meninggalkan) kebenaran
yang datang kepadamu (Q.S al-Maaidah ayat 48). Dan firman Allah :
{ وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا } [الإسراء: 36].
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak
engkau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan
ditanya (untuk dipertanggungjawabkan pada hari kiamat)(Q.S al-Israa’ ayat 36). Dan
firman Allah:
{ وَلَا
تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ
لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ
الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ } [النحل: 116]
“ Dan janganlah
mengucapkan kedustaan yang diungkapkan oleh lisan kalian bahwa ini halal dan
ini haram untuk mengada-adakan kedustaan atas nama Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas nama Allah tidaklah beruntung
(Q.S anNahl ayat 116)”.
Kalau seandainya ia melihat seseorang mengerjakan sesuatu,
secara asal adalah halal. Tidak boleh bagi dia melarangnya hingga ia mengetahui
bahwa itu (memang) haram atau terlarang (secara syariat, pent). Kalau
seandainya ia melihat seseorang meninggalkan sesuatu, dan orang yang melihat
ini menyangkanya sebagai suatu ibadah (yang ditinggalkan). Maka sesungguhnya
tidak halal bagi dia untuk menyuruh orang itu beribadah, hingga ia (benar-benar)
tahu bahwa syariat memang memerintahkannya.
Syarat
kedua: Mengetahui keadaan orang yang diperintah. Apakah memang
orang tersebut menjadi sasaran perintah atau larangan (dari syariat) atau
tidak? Jika ia melihat seseorang dan ragu apakah orang ini mukallaf (terkena
beban syariat) atau tidak, maka ia tidak memerintahkan kepada orang itu seperti
kepada orang yang semisalnya, hingga ia memperjelas (apakah orang itu benar
mukallaf atau tidak, pent).
Syarat
ketiga: Mengetahui keadaan pihak yang diperintahkan pada
saat pembebanan syariat itu. Apakah ia telah mengerjakannya atau tidak?
Kalau dia melihat seseorang masuk masjid kemudian duduk, dan ragu apakah orang
itu telah sholat dua rokaat atau tidak, maka jangan mengingkarinya dan jangan
memerintahkan pada sholat dua rokaat itu hingga ia meminta penjelasan
kepadanya. Dalilnya adalah bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam suatu ketika
berkhutbah Jumat kemudian masuklah seorang laki-laki dan duduk. Kemudian Nabi
shollallahu alaihi wasallam bertanya: Apakah engkau telah sholat? Orang itu
menyatakan: Tidak. Maka Nabi menyatakan: Bangkitlah sholatlah dua rokaat dan
lakukan dengan ringkas (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Jabir). Telah sampai
berita kepada saya bahwa sebagian manusia berkata: Haram merekam (bacaan)
alQuran dengan kaset-kaset. Karena hal itu menghinakan al-Quran menurut
persangkaan mereka! Maka orang itu melarang manusia merekam al-Quran pada
kaset-kaset ini, dengan persangkaan bahwa itu munkar!! Maka kami katakan
kepadanya: Sesungguhnya kemunkaran adalah engkau melarang mereka dari sesuatu
yang tidak engkau ketahui bahwa itu kemunkaran. Harusnya engkau ketahui (dulu)
bahwa ini munkar dalam agama Allah. Ini dalam hal yang bukan ibadah. Sedangkan
dalam hal ibadah, jika kita melihat seseorang beribadah tertentu yang kita
tidak mengetahui bahwa itu diperintahkan oleh Allah, maka kita melarangnya.
Karena secara asal melakukan ibadah itu terlarang (hingga ada dalil yang
memerintahkannya, pent).
Syarat yang
keempat: Ia memiliki kemampuan untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi
munkar tanpa ada kemudharatan yang mengenainya. Jika bisa menyebabkan
kemudharatan baginya, maka tidak wajib baginya (melakukan amar ma’ruf dan nahi
munkar). Akan tetapi jika ia bersabar dan menegakkannya, maka ini adalah lebih
utama. Karena seluruh kewajiban dipersyaratkan adanya kemampuan dan
kesanggupan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
{
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } [التغابن: 16]
Maka bertakwalah kepada Allah sesuai (batas)
kemampuan kalian (Q.S atTaghobuun ayat 16). dan firman Allah:
{
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا } [البقرة:
286]
“Allah tidaklah membebani jiwa kecuali sesuai
kemampuannya (Q.S al-Baqoroh ayat 286)”.
Jika ia takut kalau memerintahkan seseorang kepada hal yang ma’ruf
menyebabkan ia dibunuh, maka dalam hal itu tidak wajib baginya untuk
memerintahkannya. Karena ia tidak mampu melakukan itu. Bahkan menjadi haram
baginya dalam kondisi seperti itu. Sebagian Ulama berkata: (Tetap) wajib
beramar ma’ruf nahi munkar dan bersabar jika ia akan mendapatkan mudharat
selama tidak sampai tahap pembunuhan. Akan tetapi pendapat pertama (yang
menyatakan tidak wajib baginya) adalah lebih utama. Karena jika sampai terkena
mudharat seperti dipenjara atau semisalnya, maka orang lain akan meninggalkan
amar ma’ruf nahi munkar karena takut mendapatkan hal yang sama dengan dia.
Sampai (hal itu merembet) dalam hal yang tidak dikhawatirkan adanya
kemudharatan. Ini selama perkaranya tidak sampai pada batas bahwa memerintahkan
kepada hal yang ma’ruf adalah termasuk Jihad
Sebagaimana seseorang yang memerintahkan kepada Sunnah dan
melarang dari kebid’ahan yang kalau seandainya ia diam, niscaya Ahlul Bid’ah
akan bersikap sewenang-wenang terhadap Ahlussunnah. Dalam kondisi semacam ini
wajib menampakkan Sunnah dan menjelaskan bid’ah. Karena ini termasuk jihad di
jalan Allah. Dan tidaklah ada udzur bagi orang yang wajib baginya (jihad
tersebut) ketika ia mengkhawatirkan (keselamatan) untuk dirinya.
Syarat kelima: Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukannya
tidak sampai menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dibandingkan
jika dia diam. Kalau menimbulkan hal semacam itu, maka tidak wajib bagi dia
(beramar ma’ruf nahi munkar). Bahkan tidak boleh bagi dia melakukan amar ma’ruf
nahi munkar. Karena itu, para Ulama menyatakan: Sesungguhnya mengingkari kemungkaran
mengakibatkan 4 hal:
1.
Kemunkaran hilang, atau
2.
Kemunkarannya berubah menjadi
lebih ringan,
3.
Kemunkarannya berubah kadarnya
menjadi kemunkaran lain tapi seimbang.
4.
Kemunkarannya berubah menjadi
lebih besar.
Dalam kondisi yang pertama dan kedua, mengingkari kemungkaran
adalah wajib. Pada kondisi ketiga, ini perlu dikaji lagi. Pada kondisi keempat,
tidak boleh melakukan pengingkaran kemunkaran, karena tujuan mengingkari
kemunkaran adalah menghilangkan atau menguranginya. Contoh: Jika dia ingin
memerintahkan kepada seseorang berbuat kebaikan, tapi hal itu menyebabkan
melakukan perbuatan baik ini menyebabkan ia tidak sholat berjamaah, maka dalam
hal ini tidak boleh memerintahkan kepada hal tersebut. Karena hal itu
mengakibatkan meninggalkan hal yang wajib untuk melakukan hal yang mustahab (disukai).
Demikian juga dalam mengingkari kemunkaran. Jika akan menyebabkan
pelakunya melakukan perbuatan kemunkaran yang lebih besar, dalam kondisi
semacam ini tidak boleh baginya untuk mengingkari kemunkaran tersebut dalam
rangka mencegah datangnya kerusakan yang lebih besar dengan kerusakan yang
lebih kecil. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
{ وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ
عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ } [الأنعام: 108]
“Dan janganlah kalian mencela pihak-pihak yang disembah selain
Allah yang akibatnya mereka akan mencela Allah secara dzhalim tanpa ilmu.
Demikianlah Kami perindah (gambaran) amalan yang diperbuat setiap umat,
kemudian kepada Rabb merekalah mereka kembali. Kemudian Allah akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat (Q.S al-An’aam ayat
108)”.
Sesungguhnya mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin, tidak
diragukan lagi itu adalah perbuatan yang diharapkan. Akan tetapi, jika hal itu
menyebabkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan maslahat akibat mencela
sesembahan kaum musyrikin, yaitu menyebabkan mereka mencela Allah Ta’ala secara
dzhalim tanpa ilmu, maka Allah melarang dari mencela sesembahan-sesembahan kaum
musyrikin itu dalam kondisi tersebut.
Kalau kita mendapati seseorang meminum khamr, dan meminum khamr
adalah kemunkaran, yang jika kita larang dia dari meminumnya menyebabkan ia
mencuri harta manusia dan melanggar kehormatan mereka, maka dalam hal ini kita
tidak melarangnya dari meminum khamr. Karena hal itu menimbulkan mafsadah
(kerusakan) yang lebih besar.
Syarat yang keenam: Orang yang memerintahkan kepada yang baik
atau yang melarang (dari kemunkaran) menjadi orang yang menjalankan perintah
itu dan menjauhi larangan itu. Ini menurut pendapat sebagian Ulama. Jika
orang itu tidak mengerjakan yang diperintah atau tidak meninggalkan yang
dilarangnya, maka ia tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar tersebut. Karena
Allah berfirman kepada Bani Israil:
{
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ
تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ } [البقرة: 44]
“Apakah kalian memerintahkan manusia pada kebaikan dan kalian
melupakan diri kalian sendiri padahal kalian membaca Kitab. Tidakkah kalian berakal?
(Q.S al-Baqoroh ayat 44”.
Jika orang itu tidak sholat, maka jangan memerintahkan orang lain
untuk sholat. Jika ia minum khamr, maka jangan larang orang lain darinya.
Karena itu seorang penyair berkata:
لا تنه عن خلق
وتأتي مثله … عار عليك إذا فعلت عظيم
ganlah engkau melarang dari suatu akhlak padahal engkau melakukan
yang semisalnya….Aib besar bagimu jika melakukan hal itu Ulama yang berpendapat
demikian berdalil dengan atsar dan pandangan. Akan tetapi Jumhur Ulama
berpendapat beda dengan pendapat itu.
Mereka menyatakan: Wajib beramar ma’ruf meski engkau tidak
melakukannya. Wajib mencegah kemunkaran meski engkau melakukannya. Allah
mencela Bani Israil bukan karena mereka memerintahkan pada kebaikan, tetapi
karena mereka menggabungkan antara memerintahkan pada kebaikan dan melupakan
diri mereka sendiri. Pendapat ini adalah yang benar. Maka kita katakan: Anda
sekarang diperintah pada dua hal, pertama: mengerjakan kebaikan. Kedua:
memerintahkan pada kebaikan. Anda dilarang dari dua hal: Pertama: mengerjakan
kemunkaran, kedua: meninggalkan sikap melarang dari kemunkaran. Maka jangan
menggabungkan antara meninggalkan yang diperintah dan mengerjakan yang
dilarang. Karena meninggalkan salah satu darinya tidaklah mengharuskan gugurnya
kewajiban yang lain.
Syarat yang ketujuh Mengetahui (dengan pasti) terjadinya
kemungkaran atau ditinggalkannya kebaikan. Jika
tidak, maka tidak boleh menduga-duga hal yang tidak diketahuinya. Contohnya :
apabila ada seseorang masuk ke dalam masjid kemudian langsung duduk tanpa
sholat-tahiyyatu al-masjid–
maka yang sesuai dengan hikmah adalah dengan bertanya kepadanya, mengapa dia
langsung duduk dan tidak melakukan shalat ? Dia tidak boleh untuk
langsung dilarang dan dicela.
Nabi shallallohu
‘alaihi wa sallam pernah pada saat berkhutbah di hari Jum’at,
tiba-tiba masuklah seseorang ke dalam masjid dan langsung duduk. Beliau
bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah shalat?” Dia menjawab, “belum”. Beliau
bersabda, “Bangun dan shalatlah dua raka’at.” Beliau tidak mencelanya karena
mungkin saja orang itu sudah shalat tapi Nabi tidak mengetahuinya. Begitu pula
apabila ada seseorang yang sedang makan ketika siang hari bulan Ramdhan, tidak
boleh langsung mencelanya. Akan tetapi harus ditanya terlebih dulu, karena
boleh jadi dia sedang punya udzur.
KESIMPULAN SYARAT WAJIB AMAR
MA’RUF NAHI MUNKAR :
Karena pelaksanaan amar makruf dan
nahi munkar adalah sebuah kewajiban dan mencukup semua dimensi agama maka, para
pelakunya harus mengetahui beberapa hal dibawah ini :
1. Pelaku pelaksana amar
makruf dan nahi munkar harus mengetahui bahwa melaksanakan perbuatan itu adalah
sebuah kewajiban syar’I. Barang siapa yang tidak memiliki ilmu tentang hal itu,
maka amar makruf dan nahi munkar tidak wajib baginya.
2. Hendaknya amar atau nahi
yang dilakukan memiliki nilai dan pengaruh bagi orang lain. Oleh karena itu
jika sang pelaku amar makruf dan nahi munkar tidak yakin usahanya akan
mempunyai nilai dan berpengaruh, maka melaksanakan amar makruf dan nahi munkar
tidak wajib baginya.
3. Jika pelaku amar makruf dan
nahi munkar mengetahui bahwa orang yang di makrufi [pelaku dosa] tersebut akan
terus melakukan perbuatan dosa, atau jika ia tahu dengan pasti bahwa orang
tersebut tidak akan meninggalkan perbuatan dosanya, maka amar makruf dan nahi
munkar tidak wajib baginya.
4. Hendaknya pelaksaan Amar
makruf dan nahi munkar tidak berbahaya bagi dirinya, atau keluarganya atau bagi
saudara seagamanya. Kecuali jika pendosa itu berusaha untuk melenyapkan akidah,
hukum islam dan ideologi islam, maka yang seperti ini meskipun melaksakan amar
ma’ruf adalah kewajiban kifai maka, melaksanakan amar makruf dan nahi munkar
dalam hal ini adalah wajib. Meskipun itu berbahaya bagi dirinya dan
keluarganya. Contoh jelasnya adalah demi terjaganya Islam dan syiar Islam,
tenjaganya keselamatan jiwa dan keluarga muslimin. Oleh karena itu, jika
syiar-syiar Islami atau jiwa sekelompok muslim berada dalam bahaya dan
terancam, maka disini harus diperhatikan mana letak urusan yang penting dan
yang lebih penting (aham dan muhim). Kewajiban amar makruf dan nahi munkar
tidak akan gugur bagi yang lainya hanya dengan melihat adanya bahaya bagi sang
pelaku amar makruf dan nahi munkar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar