Sabtu, 03 Oktober 2015

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR


 



Amar ma’ruf nahi munkar merupakan kekhususan dan keistimewaan Ummat Islam yang akan  mempengaruhi kemulian Umat Islam. Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan Amar ma’ruf nahi munkar ini. Allah berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah:71)
 
Pentingnya Amar Makruf dan Nahi Mungkar

Pada sebagian hadis Imam maksum a.s. dikatakan bahwa
A.      Amar makruf dan nahi mungkar termasuk kewajiban yang paling penting dan mulia.
B.      Kewajiban-kewajiban agama tetap kokoh karena adanya amar makruf dan nahi mungkar.
C.      Amar makruf dan nahi mungkar termasuk daruratnya agama dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia adalah kafir.
D.      Jika masyarakat meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar maka akan hilang keberkahan hidup dan doa-doa tidak dikabulkan.

Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah kepada Umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ para Ulama.
1.       Dalil Al Qur’an
Firman Allah ,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Al-Imran: 104).
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,”Maksud dari ayat ini, hendaklah ada sebagian Ummat ini yang menegakkan perkara ini“. (Lihat tafsir Al Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405). Dan firman-Nya,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Kamu adalah Ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Al-Imran :110).
Umar bin Khathab berkata ketika memahami ayat ini,”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk Ummat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya“. (Lihat Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/453).

2.       Dalil Sunnah
Sabda Rasulullah ,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Barang siapa yang melihat satu kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman (Riwayat Muslim).

3.      Ijma’ Oleh Para Ulama
1)      Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata, “Seluruh Ummat telah bersepakat mengenai kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, tidak ada perselisihan diantara mereka sedikitpun”. (Ibnu Hazm, Al-Fashl Fil Milal Wan Nihal, 5/19).
2)      Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata,”Allah telah menegaskan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar melalui beberapa ayat dalam Al Qur’an, lalu dijelaskan Rasulullah dalam hadits yang mutawatir. Dan para salaf serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas kewajibannya“. (Al-Jashash, Ahkamul Qur’an , 2/486)
3)      An-Nawawi berkata,”telah banyak dalil-dalil Al Qur’an dan Sunnah serta Ijma’ yang menunjukkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar“. (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/22).
4)      Asy-Syaukaniy berkata,”Amar ma’ruf nahi munkar termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari’at terbesar dalam syari’at. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya“. (Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/450).

ADAB BERAMAL MAKRUF DAN NAHI MUNGKAR

Orang yang melakukan amar makruf dan nahi mungkar sebaiknya.
1.       Seperti seorang dokter yang baik dan seorang ayah yang penyayang.
2.       Niatnya ikhlas dan hanya karena Allah melakukan amar makruf dan nahi mungkar dan bukan untuk kesombongan.
3.       Tidak menganggap dirinya paling suci apalagi kadang-kadang masih berbuat kesalahan dan hendaknya memiliki sifat yang baik yang menjadikan Allah menyayanginya walaupun ada tingkahnya yang masih membikin Allah marah.



Etika Dalam Melakukan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar


 


Dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar ada etika yang harus diikuti sesuai firman Allah dan sunnah rasul-Nya yaitu:
1)      Hendaknya orang yang melakukannya mengetahui hakikat kebaikan yang ia perintahkan.
Yakni, bahwa itu merupakan kebaikan berdasarkan syariat dan kebaikan itu sudah ditinggalkan. Begitu juga, ia harus mengetahui hakikat kemungkaran yang akan dicegahnya berdasarkan syariat dan ia ingin mengubahnya, dan kemungkaran tersebut benar-benar telah dilakukan. Padahal kemungkaran itu termasuk sesuatu yang diingkari oleh syariat yang berupa kemaksiatan dan perbuatan haram.

2)      Dapat menahan diri (wara’), tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, dan tidak meninggalkan kebaikan-kebaikan yang ia perintahkan.
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3)

3)      Memiliki perangai yang baik
Murah hati, menyuruh dengan lembut, melarang secara lunak, tidak dendam ketika mendapat balasan buruk dari orang yang dilarangnya, dan tidak marah jika orang yang diperintahnya menimpakan gangguan kepadanya. Namun, ia bersabar dan memaafkan.
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17)

4)      Tidak mengetahui kemungkaran dengan cara memata-matai orang lain.
Tidaklah pantas untuk mengetahui keburukan orang lain di rumahnya atau menyingkap pakaian sseorang untuk mengetahui sesuatu yang ada di dalamnya atau membuka bejana guna mengetahui apa isinya. Allah telah memerintahkan untuk menutupi keburukan orang lain dan melarang untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Allah berfirman: “…Dan janganlah mencari-cari keburukan orang…” (Al-Hujurat: 12)

5) Sebelum menyuruh orang yang akan disuruh, alangkah baiknya bila ia memperkenalkan kebaikan kepadanya.
Bisa jadi penyebab orang meninggalkan suatu kebaikan adalah ketidak-tahuannya bahwa hal tersebut adalah kebaikan. Begitu juga dalam memperkenalkan kepada orang yang akan dicegah dari kemungkaran. Bisa jadi orang tersebut melakukan kemungkaran akibat ketidak-tahuannya bahwa hal tersebut adalah kemungkaran.

6)      Menyuruh dan mencegah dengan cara yang baik.
Apabila seseorang tidak mau melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran, ia harus menasihatinya dengan cara yang dapat melunakkan hatinya yaitu dengan menunjukkan dalil-dalil tentang ajakan dan acaman yang ada dalam syariat.
Jika dengan hal itu tidak juga berhasil, bisa menggunakan peringatan serta ucapan yang tegas dan keras. Namun jika dengan itu semua tidak juga berhasil, ia bisa melaporkan kepada pemerintah atau meminta tolong kepada teman-temannya.

7)      Apabila ia tidak berdaya untuk mengubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya disebabkan rasa takut bahwa dirinya, hartanya, dan sesuatu yang tampak pada dirinya akan terancam, dan ia tidak mampu bersabar atas sesuatu yang menimpa dirinya, cukuplah ia mengubah kemungkaran dengan hatinya.
Rasulullah pernah bersabda:
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Apabila ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu, maka dengan hatinya. Demikian itu adalah keimanan yang paling lemah.”(HR. Muslim)




PELAKSANAAN TINGKATAN AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR

Untuk melaksanakan kewajiban amar ma'ruf nabi munkar terdapat beberapa tingkatan:
A.      Pengenalan. Setiap mubaligh harus mengenalkan dan memberitahukan mengenai hukum Islam yang dilanggar oleh seseorang yang melakukan kesalahan dan menjelaskan hukuman Allah terhadap orang yang melakukan kemungkaran, serta kewajibannya yang harus dilakukan dengan cara lemah lembut.  
B.      Menasehati. Jika ada yang melakukan kemungkinan tetapi sebenarnya dia mengetahui bahwa itu perbuatan tercela atau mungkar, orang seperti harus diberi nasehat, dan ditakut-takuti dengan atau oleh siksaan Alah SWT. Akan tetapi pemberi nasehat harus waspada, jangan tersirat bahwa orang yang menjadi sasarannya, itu akan merasa dihina atau direndahkan.
C.      Mencela dengan kata-kata kasar. Langkah ini mungkin dilakukan ketika dia tidak dapat mencegah kemungkaran dengan cara lemah lembut dan tantangan sedang menghadangnya.
Misalnya orang berani berbuat jahat dihadapannya atau langsung memperolok-oloknya.
D.   Mengubah dengan tangan (kekuasaan). Hal ini dapat dipergunakan untuk hal-hal, misalnya memecahkan alat kemungkaran (merobek kartu judi), menumpahkan minuman keras, memecahkan patung-patung, mengeluarkan orang yang duduk di malam masjid sedangkan dia mempunyai hadas. Akan tetapi tahapan ini tidak dapat langsung dilakukan, karena jika langsung dilakukan yang ada justru akan menimbulkan akibat yang lebih buruk lagi.

Rasulullah SAW bersabda:

"Dari Abu Said al Khudri r.a. dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangan (kekuasaannya), jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika tidak mampu juga, ubahlah dengan hatinya (diam saja), tetapi mengubah dengan hati (diam) itu merupakan iman yang paling lemah".
(HR. Imam Muslim dan Tirmidzi serta yang lain)



SYARAT-SYARAT AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

Syarat pertama : Orang yang beramal ma’ruf nahi munkar itu harus mengetahui hukum syar’i terkait hal yang ia perintahkan atau ia larang tersebut. Tidaklah ia memerintahkan kecuali karena ia mengetahui bahwa syariat memerintahkan hal itu. Dan tidaklah ia melarang kecuali dari hal-hal yang ia ketahui bahwa syariat melarangnya. Janganlah ia menyandarkan hal itu pada perasaan atau adat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam :
{ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ } [المائدة: 48].
Maka tetapkanlah hukum di antara mereka sesuai dengan yang Allah turunkan. Dan jangan engkau mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga meninggalkan) kebenaran yang datang kepadamu (Q.S al-Maaidah ayat 48). Dan firman Allah :
{ وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا } [الإسراء: 36].
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan ditanya (untuk dipertanggungjawabkan pada hari kiamat)(Q.S al-Israa’ ayat 36). Dan firman Allah:
{ وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ } [النحل: 116]
 “ Dan janganlah mengucapkan kedustaan yang diungkapkan oleh lisan kalian bahwa ini halal dan ini haram untuk mengada-adakan kedustaan atas nama Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas nama Allah tidaklah beruntung (Q.S anNahl ayat 116)”.
Kalau seandainya ia melihat seseorang mengerjakan sesuatu, secara asal adalah halal. Tidak boleh bagi dia melarangnya hingga ia mengetahui bahwa itu (memang) haram atau terlarang (secara syariat, pent). Kalau seandainya ia melihat seseorang meninggalkan sesuatu, dan orang yang melihat ini menyangkanya sebagai suatu ibadah (yang ditinggalkan). Maka sesungguhnya tidak halal bagi dia untuk menyuruh orang itu beribadah, hingga ia (benar-benar) tahu bahwa syariat memang memerintahkannya.
Syarat kedua: Mengetahui keadaan orang yang diperintah. Apakah memang orang tersebut menjadi sasaran perintah atau larangan (dari syariat) atau tidak? Jika ia melihat seseorang dan ragu apakah orang ini mukallaf (terkena beban syariat) atau tidak, maka ia tidak memerintahkan kepada orang itu seperti kepada orang yang semisalnya, hingga ia memperjelas (apakah orang itu benar mukallaf atau tidak, pent).
Syarat ketiga: Mengetahui keadaan pihak yang diperintahkan pada saat pembebanan syariat itu. Apakah ia telah mengerjakannya atau tidak? Kalau dia melihat seseorang masuk masjid kemudian duduk, dan ragu apakah orang itu telah sholat dua rokaat atau tidak, maka jangan mengingkarinya dan jangan memerintahkan pada sholat dua rokaat itu hingga ia meminta penjelasan kepadanya. Dalilnya adalah bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam suatu ketika berkhutbah Jumat kemudian masuklah seorang laki-laki dan duduk. Kemudian Nabi shollallahu alaihi wasallam bertanya: Apakah engkau telah sholat? Orang itu menyatakan: Tidak. Maka Nabi menyatakan: Bangkitlah sholatlah dua rokaat dan lakukan dengan ringkas (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Jabir). Telah sampai berita kepada saya bahwa sebagian manusia berkata: Haram merekam (bacaan) alQuran dengan kaset-kaset. Karena hal itu menghinakan al-Quran menurut persangkaan mereka! Maka orang itu melarang manusia merekam al-Quran pada kaset-kaset ini, dengan persangkaan bahwa itu munkar!! Maka kami katakan kepadanya: Sesungguhnya kemunkaran adalah engkau melarang mereka dari sesuatu yang tidak engkau ketahui bahwa itu kemunkaran. Harusnya engkau ketahui (dulu) bahwa ini munkar dalam agama Allah. Ini dalam hal yang bukan ibadah. Sedangkan dalam hal ibadah, jika kita melihat seseorang beribadah tertentu yang kita tidak mengetahui bahwa itu diperintahkan oleh Allah, maka kita melarangnya. Karena secara asal melakukan ibadah itu terlarang (hingga ada dalil yang memerintahkannya, pent).
Syarat yang keempat: Ia memiliki kemampuan untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar tanpa ada kemudharatan yang mengenainya. Jika bisa menyebabkan kemudharatan baginya, maka tidak wajib baginya (melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar). Akan tetapi jika ia bersabar dan menegakkannya, maka ini adalah lebih utama. Karena seluruh kewajiban dipersyaratkan adanya kemampuan dan kesanggupan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
{ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } [التغابن: 16]
Maka bertakwalah kepada Allah sesuai (batas) kemampuan kalian (Q.S atTaghobuun ayat 16). dan firman Allah:
{ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا } [البقرة: 286]
“Allah tidaklah membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya (Q.S al-Baqoroh ayat 286)”.
Jika ia takut kalau memerintahkan seseorang kepada hal yang ma’ruf menyebabkan ia dibunuh, maka dalam hal itu tidak wajib baginya untuk memerintahkannya. Karena ia tidak mampu melakukan itu. Bahkan menjadi haram baginya dalam kondisi seperti itu. Sebagian Ulama berkata: (Tetap) wajib beramar ma’ruf nahi munkar dan bersabar jika ia akan mendapatkan mudharat selama tidak sampai tahap pembunuhan. Akan tetapi pendapat pertama (yang menyatakan tidak wajib baginya) adalah lebih utama. Karena jika sampai terkena mudharat seperti dipenjara atau semisalnya, maka orang lain akan meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar karena takut mendapatkan hal yang sama dengan dia. Sampai (hal itu merembet) dalam hal yang tidak dikhawatirkan adanya kemudharatan. Ini selama perkaranya tidak sampai pada batas bahwa memerintahkan kepada hal yang ma’ruf adalah termasuk Jihad
Sebagaimana seseorang yang memerintahkan kepada Sunnah dan melarang dari kebid’ahan yang kalau seandainya ia diam, niscaya Ahlul Bid’ah akan bersikap sewenang-wenang terhadap Ahlussunnah. Dalam kondisi semacam ini wajib menampakkan Sunnah dan menjelaskan bid’ah. Karena ini termasuk jihad di jalan Allah. Dan tidaklah ada udzur bagi orang yang wajib baginya (jihad tersebut) ketika ia mengkhawatirkan (keselamatan) untuk dirinya.

Syarat kelima: Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukannya tidak sampai menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dibandingkan jika dia diam. Kalau menimbulkan hal semacam itu, maka tidak wajib bagi dia (beramar ma’ruf nahi munkar). Bahkan tidak boleh bagi dia melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, para Ulama menyatakan: Sesungguhnya mengingkari kemungkaran mengakibatkan 4 hal:
1.       Kemunkaran hilang, atau
2.       Kemunkarannya berubah menjadi lebih ringan,
3.       Kemunkarannya berubah kadarnya menjadi kemunkaran lain tapi seimbang.
4.       Kemunkarannya berubah menjadi lebih besar.
Dalam kondisi yang pertama dan kedua, mengingkari kemungkaran adalah wajib. Pada kondisi ketiga, ini perlu dikaji lagi. Pada kondisi keempat, tidak boleh melakukan pengingkaran kemunkaran, karena tujuan mengingkari kemunkaran adalah menghilangkan atau menguranginya. Contoh: Jika dia ingin memerintahkan kepada seseorang berbuat kebaikan, tapi hal itu menyebabkan melakukan perbuatan baik ini menyebabkan ia tidak sholat berjamaah, maka dalam hal ini tidak boleh memerintahkan kepada hal tersebut. Karena hal itu mengakibatkan meninggalkan hal yang wajib untuk melakukan hal yang mustahab (disukai).
Demikian juga dalam mengingkari kemunkaran. Jika akan menyebabkan pelakunya melakukan perbuatan kemunkaran yang lebih besar, dalam kondisi semacam ini tidak boleh baginya untuk mengingkari kemunkaran tersebut dalam rangka mencegah datangnya kerusakan yang lebih besar dengan kerusakan yang lebih kecil. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
{ وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ } [الأنعام: 108]

“Dan janganlah kalian mencela pihak-pihak yang disembah selain Allah yang akibatnya mereka akan mencela Allah secara dzhalim tanpa ilmu. Demikianlah Kami perindah (gambaran) amalan yang diperbuat setiap umat, kemudian kepada Rabb merekalah mereka kembali. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat (Q.S al-An’aam ayat 108)”.
Sesungguhnya mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin, tidak diragukan lagi itu adalah perbuatan yang diharapkan. Akan tetapi, jika hal itu menyebabkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan maslahat akibat mencela sesembahan kaum musyrikin, yaitu menyebabkan mereka mencela Allah Ta’ala secara dzhalim tanpa ilmu, maka Allah melarang dari mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin itu dalam kondisi tersebut.
Kalau kita mendapati seseorang meminum khamr, dan meminum khamr adalah kemunkaran, yang jika kita larang dia dari meminumnya menyebabkan ia mencuri harta manusia dan melanggar kehormatan mereka, maka dalam hal ini kita tidak melarangnya dari meminum khamr. Karena hal itu menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar.

Syarat yang keenam: Orang yang memerintahkan kepada yang baik atau yang melarang (dari kemunkaran) menjadi orang yang menjalankan perintah itu dan menjauhi larangan itu. Ini menurut pendapat sebagian Ulama. Jika orang itu tidak mengerjakan yang diperintah atau tidak meninggalkan yang dilarangnya, maka ia tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar tersebut. Karena Allah berfirman kepada Bani Israil:
{ أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ } [البقرة: 44]
“Apakah kalian memerintahkan manusia pada kebaikan dan kalian melupakan diri kalian sendiri padahal kalian membaca Kitab. Tidakkah kalian berakal? (Q.S al-Baqoroh ayat 44”.
Jika orang itu tidak sholat, maka jangan memerintahkan orang lain untuk sholat. Jika ia minum khamr, maka jangan larang orang lain darinya. Karena itu seorang penyair berkata:
لا تنه عن خلق وتأتي مثله … عار عليك إذا فعلت عظيم

ganlah engkau melarang dari suatu akhlak padahal engkau melakukan yang semisalnya….Aib besar bagimu jika melakukan hal itu Ulama yang berpendapat demikian berdalil dengan atsar dan pandangan. Akan tetapi Jumhur Ulama berpendapat beda dengan pendapat itu.
Mereka menyatakan: Wajib beramar ma’ruf meski engkau tidak melakukannya. Wajib mencegah kemunkaran meski engkau melakukannya. Allah mencela Bani Israil bukan karena mereka memerintahkan pada kebaikan, tetapi karena mereka menggabungkan antara memerintahkan pada kebaikan dan melupakan diri mereka sendiri. Pendapat ini adalah yang benar. Maka kita katakan: Anda sekarang diperintah pada dua hal, pertama: mengerjakan kebaikan. Kedua: memerintahkan pada kebaikan. Anda dilarang dari dua hal: Pertama: mengerjakan kemunkaran, kedua: meninggalkan sikap melarang dari kemunkaran. Maka jangan menggabungkan antara meninggalkan yang diperintah dan mengerjakan yang dilarang. Karena meninggalkan salah satu darinya tidaklah mengharuskan gugurnya kewajiban yang lain.

Syarat yang ketujuh Mengetahui (dengan pasti) terjadinya kemungkaran atau ditinggalkannya kebaikan. Jika tidak, maka tidak boleh menduga-duga hal yang tidak diketahuinya. Contohnya : apabila ada seseorang masuk ke dalam masjid kemudian langsung duduk tanpa sholat-tahiyyatu al-masjid– maka yang sesuai dengan hikmah adalah dengan bertanya kepadanya, mengapa dia langsung duduk dan tidak melakukan shalat ?  Dia tidak boleh untuk langsung dilarang dan dicela.
Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam pernah pada saat berkhutbah di hari Jum’at, tiba-tiba masuklah seseorang ke dalam masjid dan langsung duduk. Beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah shalat?” Dia menjawab, “belum”. Beliau bersabda, “Bangun dan shalatlah dua raka’at.” Beliau tidak mencelanya karena mungkin saja orang itu sudah shalat tapi Nabi tidak mengetahuinya. Begitu pula apabila ada seseorang yang sedang makan ketika siang hari bulan Ramdhan, tidak boleh langsung mencelanya. Akan tetapi harus ditanya terlebih dulu, karena boleh jadi dia sedang punya udzur.

KESIMPULAN SYARAT WAJIB AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR  :
Karena pelaksanaan amar makruf dan nahi munkar adalah sebuah kewajiban dan mencukup semua dimensi agama maka, para pelakunya harus mengetahui beberapa hal dibawah ini :
1.   Pelaku pelaksana amar makruf dan nahi munkar harus mengetahui bahwa melaksanakan perbuatan itu adalah sebuah kewajiban syar’I. Barang siapa yang tidak memiliki ilmu tentang hal itu, maka amar makruf dan nahi munkar tidak wajib baginya.
2.     Hendaknya amar atau nahi yang dilakukan memiliki nilai dan pengaruh bagi orang lain. Oleh karena itu jika sang pelaku amar makruf dan nahi munkar tidak yakin usahanya akan mempunyai nilai dan berpengaruh, maka melaksanakan amar makruf dan nahi munkar tidak wajib baginya.
3.     Jika pelaku amar makruf dan nahi munkar mengetahui bahwa orang yang di makrufi [pelaku dosa] tersebut akan terus melakukan perbuatan dosa, atau jika ia tahu dengan pasti bahwa orang tersebut tidak akan meninggalkan perbuatan dosanya, maka amar makruf dan nahi munkar tidak wajib baginya.
4.  Hendaknya pelaksaan Amar makruf dan nahi munkar tidak berbahaya bagi dirinya, atau keluarganya atau bagi saudara seagamanya. Kecuali jika pendosa itu berusaha untuk melenyapkan akidah, hukum islam dan ideologi islam, maka yang seperti ini meskipun melaksakan amar ma’ruf adalah kewajiban kifai maka, melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam hal ini adalah wajib. Meskipun itu berbahaya bagi dirinya dan keluarganya. Contoh jelasnya adalah demi terjaganya Islam dan syiar Islam, tenjaganya keselamatan jiwa dan keluarga muslimin. Oleh karena itu, jika syiar-syiar Islami atau jiwa sekelompok muslim berada dalam bahaya dan terancam, maka disini harus diperhatikan mana letak urusan yang penting dan yang lebih penting (aham dan muhim). Kewajiban amar makruf dan nahi munkar tidak akan gugur bagi yang lainya hanya dengan melihat adanya bahaya bagi sang pelaku amar makruf dan nahi munkar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar